PPILAR Si Penjaga Sidat Liar Bengkulu

PPILAR-sidat-Liar-bengkulu


Perdebatan seorang ibu dan penjual ikan pagi itu sempat menarik perhatianku. Sang ibu menawar dengan harga rendah karena ikannya dalam keadaan mati dan ukuran yang kecil, sementara si penjual menetapkan harga yang tinggi karena ikan tersebut memang ikan yang tidak setiap saat ada. Namun si penjual akhirnya harus merelakan menjual dengan harga yang tidak semestinya karena berpikiran daripada tidak laku.

Awalnya aku mengira itu adalah ikan belut, tapi kenapa harganya lebih mahal? Setelah bertanya barulah aku tahu kalau ternyata itu adalah ikan sidat. Kawan, kalian tahu ikan sidat? Yoklah kita kenali jenis ikan yang satu ini..


Ikan Sidat Bengkulu

Ikan sidat Bengkulu, sekilas bentuknya mirip seperti belut, bulat memanjang dan licin, namun sedikit agak mengerikan karena  bentuk kepalanya menyerupai kepala kobra. Gerak-geriknya sangat lincah, lebih gesit dari lele dan belut, sangat sulit untuk dipegang karena kandungan lendirnya cukup banyak.  Ikan ini ditemukan banyak hidup liar di rawa, sungai dan kolam. Ikan sidat dikenal memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Dari beberapa penelitian, disebutkan bahwa ditemukan berbagai kandungan vitamin dan mikronutrien dalam ikan sidat. Belum lagi kandungan Omega 3 (EPA) dan Omega 6 (DHA)nya yang sangat membantu perkembangan otak serta berfungsi sebagai anti oksidan. 


Sidat-liar-bengkulu
Ikan Sidat *


Ikan sidat dan keberadaannya

Seperti yang kujumpai pagi itu di pasar ikan, ikan sidat yang ada sangat terbatas dan ukurannya masih sangat kecil. Sehingga pembeli menekan dengan harga seminim mungkin. Padahal ikan sidat yang hidup bisa dihargai Rp. 80.000,- perkilogram sedangkan jika ikan dalam keadaan mati hanya dihargai sebesar Rp. 45.000,-. Dari kondisi ini tentu menimbulkan pemikiran bahwa sebaiknya  jika tangkapan ikan masih kecil harusnya dibudidayakan dulu sampai menjadi ukuran layak jual. Kemudian untuk penangkapan ikan sidat, hendaknya dilakukan secara benar agar hasil tangkapan dalam kondisi hidup. Dengan demikian kesejahteraan para nelayan penangkap ikan akan lebih baik. Dan kabar baiknya, informasi dari media radar selatan yang saya baca bahwa saat ini harga ikan sidat Bengkulu ini bisa mencapai harga Rp. 200.000 perkilogram di pasaran nasional dan jika diekspor ke negara Jepang bisa mencapai Rp. 505.000 perkilogram. Sungguh peluang besar yang semestinya bisa dimanfaatkan. Untuk itu diperlukan upaya agar ketersediaan dan kelestarian ikan sidat Bengkulu terus terjaga.


Berdirinya PPILAR

Adalah Randi Anom Putra, seorang Alumni Jurusan Kelautan Perikanan dari Universitas Bengkulu,yang telah lebih dulu peduli terhadap ikan Sidat Bengkulu. (Aku mengenalnya secara kebetulan bermula dari hubungan sebagai penjual dan pembeli, dimana beberapa kali beliau membeli ikan secara online kepadaku. Ketertarikanku pada ikan sidat belakangan ini mendorong  aku untuk menuliskan dan mengikuti giatnya dalam upaya pelestarian ikan sidat)

Kembali ke Randi, beliau telah meneliti ikan sidat sejak tahun 2015, berawal dari kebutuhan untuk skripsinya yang mengangkat judul “ Pengaruh Hujan dan Tidak Hujan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Sidat”. Dari penelitian tersebut ia juga mendapati bahwa potensi ikan sidat Bengkulu ini sangat banyak. Hanya saja sangat disayangkan bahwa penangkapan ikan sidat ini tidak ramah lingkungan, dimana para nelayan menangkap ikan sidat dengan alat sentruman, dan juga dengan bahan kimia berbahaya seperti potasium ( orang desa bilang :putas). Tentu saja jika menggunakan cara tangkap seperti ini ikan sidat akan mati. Nelayan senang dengan menggunakan cara ini karena dinilai praktis dan mendapatkan hasil banyak. 

Kondisi seperti ini tentu saja menimbulkan keprihatinan, dan membahayakan. Tak hanya membahayakan ikan dan ekosistemnya, ke manusia-nya pun akan menjadi bahaya. Dengan sentruman dan potasium, ikan-ikan yang ada di ekosistem tersebut tak hanya sidat liar, semua jenis ikan, besar dan kecil akan mati. Lingkungan tercemar dan hasil tangkapan pun akan membahayakan jika dikonsumsi. Bagi nelayan yang menggunakan cara ini tentu saja juga terancam bahaya, karena dianggap melanggar Undang-Undang No. 31 tahun 2009 Tentang Perikanan pasal 84, bahwa menangkap ikan dengan bahan berbahaya diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal 1,2 miliar. Nah nah nah....berenti gak loh!

Dengan cara tangkapan seperti ini, bukan tidak mungkin ikan sidat liar Bengkulu hanya akan tinggal sejarah. Kenyataan inilah  akhirnya mendorong Randi dan dua temannya Rego Damantara dan Akri Efrianda yang sama-sama peduli ikan sidat untuk mengajak para nelayan menangkap ikan sidat dengan cara yang ramah lingkungan. Mereka membentuk kelompok kecil yang dinamai PPILAR yang merupakan singkatan dari Penyuluh Penangkap Ikan Sidat Liar, tepat di penghujung tahun 2015.  

PPILAR dan Tantangannya

Tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan di lapangan ditemukan mayoritas nelayan penangkap ikan sidat liar Bengkulu melakukan penangkapan dengan alat sentrum dan bahan kimia potasium, dan tentu saja hal ini akan membawa banyak dampak buruk. Untuk itu PPILAR terus berjuang untuk membina para nelayan penangkap ikan sidat liar ini agar melakukan penangkapan dengan cara yang baik dan ramah lingkungan. Diantara cara yang ditawarkan oleh PPILAR adalah dengan menggunakan bubu. Bubu adalah alat penangkap ikan yang dibuat dari bambu. 

Bubu-sidat-liar-bengkulu
Bubu: perangkap ikan sidat*


Apakah cara ini dapat langsung diterima oleh nelayan? 

Penolakan tentu masih ada, sangatlah sulit untuk mengubah kebiasaan yang sudah mengakar, apalagi ini menyangkut urusan kebutuhan perut. Mereka beranggapan dengan menggunakan bubu akan sulit mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Kalau tangkapan tidak ada tentu akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup yang lain. 

PPILAR terus dengan gigih meyakinkan para nelayan bahwa dengan menggunakan bubu pun mereka akan tetap mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.  Sampai-sampai kelompok ini menawarkan harga yang sangat menarik kepada nelayan, selama ini harga sidat dalam kondisi mati dijual seharga Rp, 30.000,- namun PPILAR akan membeli sidat liar ini seharga Rp. 60.000 dengan catatan  ikan sidat liar dalam keadaan hidup (kala itu).

Satunya cara agar sidat liar dapat ditangkap hidup-hidup adalah dengan menggunakan bubu. PPILAR memberikan bubu gratis dengan catatan alat sentrum dan potasium milik nelayan diserahkan kepada PPILAR. Dari mana sumber dana nya? Terpaksa tiga pemuda dalam PPILAR ini harus merogoh kantong sendiri demi kelestarian ikan sidat liar ini.

Perjuangan PPILAR belum selesai , mereka terus mendatangai para nelayan-nelayan  penangkap ikan sidat untuk diajak berpindah dari pola tangkap yang berbahaya  ke pola tangkap yang ramah lingkungan. Penolakan tentu tetap ada, namun Randi dan kawan-kawan terus memberikan pengarahan dan bimbingan sampai akhirnya bisa diterima. 

PPILAR dan Dampak Baiknya

Di awal-awal metode ini memang dirasa berat oleh nelayan karena mengubah kebiasaan yang sudah mengakar kokoh. Tetapi dibalik usaha ini tanpa disadari membawa dampak positif kembali ke nelayan itu sendiri. Kalau biasanya nelayan hanya bisa menangkap ikan sidat sekali per dua  minggu, karena dengan sentrum dan potasium dibutuhkan waktu untuk perbaikan ekosistem atau regenerasi. Jauh berbeda setelah menggunakan metode penangkapan dengan bubu, dimana para nelayan bisa menangkap ikan sidat tiap hari, karena tidak merusak ekosistem. Dari sisi ekonomisnya pun lebih baik karena hasil tangkapan yang didapat dalam kondisi hidup sehingga harganya lebih mahal.

Kiprah PPILAR ini meski harus merogoh kantong sendiri, namun bisa membawa banyak dampak yang baik, tak hanya pada ekosistem alam tapi bagi manusia sang pengelola alam.

Setidaknya ada dampak positif yang besar dari keberadaan PPILAR ini yaitu ; ikan sidat liar Bengkulu dan ekosistem alamnya akan tetap lestari, pemenuhan gizi masyarakat dari ikan sidat, peningkatan perekonomian nelayan penangkap ikan sidat liar.

Meskipun harus merogoh kantong sendiri untuk membiayai sesuatu yang bukan kebutuhan pribadi, serta harus menemui perlawanan bahkan intimidasi dari beberapa nelayan, namun semua itu tak menjadi sia-sia. Jerih payah Randi dan kawan-kawan dalam PPILAR pun berbuah manis, karena berkat kegigihan  mereka dalam mengubah mindset nelayan penangkap ikan sidat liar beralih dengan metode penangkapan yang ramah lingkungan ini, akhirnya membawa Randi dan dua rekannya menjadi penerima penghargaan Satu Indonesa Award tahun 2017.

Selamat ya PPILAR. Semoga bermunculan PPILAR lainnya untuk menebar manfaat yang lebih luas lagi. Kalau Randi dengan PPILAR nya bisa membuat perubahan kebaikan, mari kita juga berbuat dengan cara yang kita bisa dan sukai demi kebaikan  hari ini dan nanti.


#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia
#KitaSATU

*Sumber foto dokumen pribadi dan istimewa

Tidak ada komentar

Terima kasih mau menuliskan komentar disini